00:00
Senin
00 Mei
jQuery(function($){
$("#ticker").tweet({
username: "buffhans",
page: 1,
avatar_size: 32,
count: 5,
loading_text: "lagi ngebaca twit..."
}).bind("loaded", function() {
var ul = $(this).find(".tweet_list");
var ticker = function() {
setTimeout(function() {
var top = ul.position().top;
var h = ul.height();
var incr = (h / ul.children().length);
var newTop = top - incr;
if (h + newTop <= 0) newTop = 0;
ul.animate( {top: newTop}, 500 );
ticker();
}, 5000);
};
ticker();
});
});
˟

SURAT RINDU #5 : Hujan dan Semak


Aku dengar, dikotamu belakangan ini sering hujan ya?
Kota tempatku sebaliknya, jarang hujan. Hujan minggu ini jatuh dihari selasa, dan sepertinya sampai pekan ini selesai, hujan masih enggan turun. Berkali-kali mendung, tapi sepertinya awan masih ragu untuk menangis dan memilih membasahi tempatmu, mungkin. Dan sepertinya memang begitu.

Hujan terkadang membawa memori tentang kenangan, sering kali membawa kerinduan, suatu saat akan membawa tangis kepedihan, dan tak jarang ia menjengkelkan. Tak ada yang membenci hujan, kecuali basahnya.

Bagiku, datangnya hujan selalu membawa kerinduan, seakan-akan semua serbuan rinai-nya adalah serdadu rindu yang kamu kirimkan. Logisnya, satu tidak akan pernah menang melawan ribuan, bahkan jutaan. Kecuali dengan keajaiban. Seperti rinai hujan dan gerimis kerinduan. Mereka sekongkol, menyerang aku yang sendirian.

Aku takluk, oleh serbuan hujan yang membawa kerinduan. Dan tentu saja, jenderal perang pasukan rindu itu hanya satu, dan lagi-lagi itu selalu kamu.

Terlalu banyak ceritaku tentang hujan, tentang sosokmu yang penuh kerinduan, dan tentang lengkung pelangi manis diufuk peraduan.

Aku terlalu banyak bicara tentang hujan dan basahnya, kamu pasti merindukan senja yang selalu tertutup mendung. Bagiku hujan lebih sering menyebalkan, sementara ia tiada ampun membawa pesan rindumu, aku bertahan pada sesaknya kebanjiran. Dan kamu malah seenaknya saja membiarkan hati dirudung rindu yang kelewatan. Dilain sisi, mungkin kamu juga sama halnya seperti aku. Bertahan menggerutu menahan sesuatu yang kita sebut rindu.

Bodohnya aku, kamu, kita, adalah masih saja malu, untuk sekedar berbagi rindu. Lewat pesan-pesan singkat yang mampu mengurai pekat. Pada akhirnya, masing-masing dari kita, berat memikul rindu dalam tandu. Bayangmu terlalu lekat, dan hujan pembawa sosokmu menyadarkan ruang antara kita terbentang diantara banyak sekat.

Kamu bisa berbagi basah hujan, kotaku rindu akan bau basah tanah yang menyeruak. Bukan kotaku, tapi aku, tanaman rindumu sudah lebat tak terawat bagai semak..

Aku merindukanmu, Ra..