00:00
Senin
00 Mei
jQuery(function($){
$("#ticker").tweet({
username: "buffhans",
page: 1,
avatar_size: 32,
count: 5,
loading_text: "lagi ngebaca twit..."
}).bind("loaded", function() {
var ul = $(this).find(".tweet_list");
var ticker = function() {
setTimeout(function() {
var top = ul.position().top;
var h = ul.height();
var incr = (h / ul.children().length);
var newTop = top - incr;
if (h + newTop <= 0) newTop = 0;
ul.animate( {top: newTop}, 500 );
ticker();
}, 5000);
};
ticker();
});
});
˟

Ironi Harapan Dititik Pergantian


Sebelum saya menuliskan tulisan ini, saya sedang melihat-lihat langit luar yang penuh dengan gemerlap suara dan cahaya. Apalagi kalau bukan kembang api dan petasan. Entah ini kebiasaan yang sudah membudaya, ataukah budaya yang mengakar menjadi ritual.

Ritual penyambutan tahun yang baru, evaluasi masa lalu, dan rangkaian harapan kedepan. Kurang pas jika ini disebut sebagai kebiasaan ataupun budaya, karena keduanya dapat dilakukan kapanpun tanpa harus terpaut waktu. Saya merinding ketika menyebut ini adalah ritual, tanggal, hingga waktu detik mundur pun dihitung untuk sebuah euforia sesaat.

Euforia itu bukan mendatangkan manfaat, hanya hiburan sesaat, dan bahkan sering kali berakhir dengan maksiat.

Saya bukanlah orang yang suka merayakan pergantian tahun, atau setuju dengan perayaannya. Saya melihat langit luar yang penuh kerlip cahaya bukan karena senang dengan ritualnya, ini adalah hiburan gratis. Bukan berarti pula saya bergadang hanya untuk menyaksikan, tapi jam biologis istirahat beberapa bulan belakangan saya ubah untuk bisa terjaga hingga pukul tiga pagi. Toh tidak ada bedanya dengan sejenak keluar ruangan sebentar untuk menghirup udara segar namun ternyata ada pemandangan hiruk-pikuk cahaya.

Banyak evaluasi ketika menjelang pergantian tahun, mulai dari kesalahan diri hingga prestasi. Lalu sedetik setelah tahun berganti, evaluasi berubah menjadi untaian doa dan harapan. Evaluasi itu diperuntukkan kepada diri sendiri ataukah tahun? Lalu doa dan harapan dipanjatkan kepada Tuhan ataukah deratan angka tahun yang berganti?

Evaluasi dan harapan tidak seharusnya hanya dilakukan setahun sekali. Lalu kenapa ini seakan menjadi hal yang wajib?
Kesan perayaan seketika berubah menjadi keraguan, kegiatan ini adalah ritual yang ditujukan kepada angka tahun yang berubah. Beranikah kita meritualkan diri kepada selain tuhan?

“2013, be my year please”
Memangnya tahun itu milik seseorang atau hanya beberapa golongan tertentu saja?
“2013, please be nice to me”
Tahun itu bukanlah makhluk yang mengatur kehidupan siapapun. Jika menginginkan tahun yang manis, bukan berharap seakan tahun adalah algojo kehidupan sehingga berharap kepada tahun. Kitalah yang menjalani kehidupan, berbuatlah yang terbaik agar kehidupan setahun kedepan bisa dikatakan manis.

Itu adalah beberapa kalimat harapan yang tidak bisa saya tolerir maksud dan tujuannya. Terlalu bodoh untuk menjadi doa dan harapan.

Orang tidak tahu manfaat apa yang didapat ketika membakar kembang api dan petasan. Selain kenikmatan sesaat, selebihnya kemaksiatan. Kenikmatan sesaat itu tidak sebanding dengan seberapa besar usaha yang dilakukan demi membeli selongsong penembak kembang api.

Ketika lebih banyak maksiat dan kemubadziran yang didapat. Satu-satunya jalan untuk mengatasi kemaksiatan ini adalah mengedepankan azas kemanfaatan. Lakukanlah ketika manfaat yang didapat sebanding dengan apa yang dikorbankan. Namun jika manfaat itu hanya sekejap, tinggalkan.

Tinggalkan ritual yang ditujukan kepada selain Tuhan, apapun bentuknya itu. Karena sebenarnya dengan sadar kita sedang menyekutukan-Nya.

Harapan hanya akan sampah ketika hanya terucap tanpa tindakan. Karena hanya harapan yang selalu terasa manis, sementara tindakan selalu kurang relevan dengan apa yang dicitakan.