00:00
Senin
00 Mei
jQuery(function($){
$("#ticker").tweet({
username: "buffhans",
page: 1,
avatar_size: 32,
count: 5,
loading_text: "lagi ngebaca twit..."
}).bind("loaded", function() {
var ul = $(this).find(".tweet_list");
var ticker = function() {
setTimeout(function() {
var top = ul.position().top;
var h = ul.height();
var incr = (h / ul.children().length);
var newTop = top - incr;
if (h + newTop <= 0) newTop = 0;
ul.animate( {top: newTop}, 500 );
ticker();
}, 5000);
};
ticker();
});
});
˟

Generasi Pragmatis

hey hey hey..
Apa kabar semuaaa?
Setelah sekian lama akhirnya ide buat nulis ada lagi. Bukan ide sih sebenernya, tapi mood buat nulis. Ide sih ada terus, bahkan sambil BAB aja ide sering muncul. Tapi begitulah, tanpa kemauan, semua tidak akan berjalan.

Kali ini gue mau buat postingan yang berbobot. Gak seperti biasanya gue sering curcol tentang ke-ngenes-an gue sebagai jomblo. Kali ini cukup, kalian juga udah tau kan nasib gue itu? Tapi itu bukan sesuatu yang harus gue tangisi. Bukan. Tapi lebih kepada membagi cerita kepada kalian semua agar bisa tertawa. Agar urat-urat serius dan stres di jidat kalian merenggang.

Kali ini gue pengen mengajak diskusi ringan yang serius dan santai (SerSan). Kalau gak begitu suka dengan obrolan serius, kalian boleh kok gak melanjutkan. Ini hanya tulisan untuk berbagi dan hanya untuk mereka yang mau berpikir lebih maju untuk generasi mendatang. Setelah paragraf ini, obrolan kita akan lebih serius.

Pragmatis..
Kalian tahu kan definisi pragmatis?
Menurut berbagai sumber yang gue baca, Pragmatis berarti pola pikir atau cara pandang orang yang maunya praktis / mudah / gampang, dan efisien.
Sama seperti apa yang dibilang ayah gue.

Ini diskusi antara gue dan ayah. Dimalam hari setelah gue terlambat pulang kerumah setelah memborong buku di gramedia.

Well, obrolan dimulai bukan langsung pada topik pragmatis itu sendiri. Tapi ayah menanyakan gue kemana aja tadi? Beli apa aja? Lalu tentang seharian ayah di kantor.

"Bapak mau ngobrol dengan Burhan tentang orang-orang yang berpikir pragmatis.."
Jadi tadi dikantor, saat sebelum ayah presentasi, ada seorang menteri yang memberikan materi kepada peserta. Selain pejabat indonesia, ada juga delegasi dari Australia. Nah, ayah duduk di kursi peserta, disebelahnya ada 1 orang Australia.

Tibalah si Menteri masuk ruangan, dan ada 5 orang ajudan. Ada yang membawakan leptopnya, ada yang bawa buku, ada yang mebagikan slide, dan lain-lain. Padahal, kalau itu dilakukan sendiri juga pasti bisa dilakukan. Tapi si Menteri lebih memilih untuk praktis. Indonesia kelebihan tenaga kerja kayaknya sampai-sampai pake 5 orang pembantu. ckckck..

Lalu si Menteri ini presentasi. Materinya dibaca semua dalam slide, kelihatan banget kalau tidak menguasai materi. "Jangan-jangan itu presentasi orang yang buatin?" kata Ayah sambil ketawa. Nah, setelah si menteri selesai presentasi, giliran ayah berikutnya presentasi mewakili Hukum dan HAM.
By the way, ayah hari sebelumnya lembur sampai malam banget di kantor untuk buat slide presentasi sendiri. Tapi saat presentasi, slide itu malah gak terpakai sama sekali. Ayah malah asik sendiri presentasi karena materinya sudah dikuasai.

Disini yang perlu disoroti adalah si Menterinya yang ingin praktis. Atau berpola pikir pragmatis. Padahal seharusnya dia bisa memberikan contoh yang baik untuk rakyatnya.

Loh? Emang pragmatis itu bahaya?

Contoh yang paling dekat dengan kita misalkan, tukang bangunan. Tukang bangunan hanya tahu gimana cara mengaduk semen, buat dinding, pasang batu-bata. Tapi kalau kita suruh untuk buat kusen jendela dia tidak bisa. Kenapa? karena terbuat dari kayu, bahannya sudah beda. Kecuali kalau kita ajarkan dahulu caranya, baru mungkin si tukang bisa.

Kalau dalam jenjang pendidikan tinggi, (maaf) D3 itu "sama" seperti tukang. Karena mereka diajari praktek saja sehingga kalau nanti lulus langsung bisa kerja. Masalah konsep (teori), mereka tidak bisa. Lebih kepada aktual (praktek).

Ini berbeda dengan S1, S2, dan S3. Pada jenjang ini mahasiswa sering diajarkan untuk kepada pemahaman konsep dan sedikit praktek.

Pengalaman ketika Ayah mengajar mahasiswa pasca-sarjana, banyak mahasiswanya yang masih bertanya untuk solving sebuah masalah. Padahal secara teori mahasiswa tersebut sudah paham, "Pak, bagaimana cara menghadapi persoalan korupsi di tingkat menteri?"

Itu sebuah pertanyaan lucu yang dilontarkan mahasiswa S2. Sebagai sarjana, seharusnya bisa berpikir problem solving. Kalau hanya bertanya untuk solving saja, maka apa bedanya S2 dengan "tukang" / D3?

Itulah pola pikir pragmatis. Maunya serba praktis. Untuk berpikir aja gak bisa, harus diberikan jawaban.

Kalau saja satu generasi seperti itu, kita gak tau gimana generasi berikutnya akan sehancur apa. Mahasiswa sarjana seharusnya bisa berpikir lebih. Akibatnya apa? Kita hanya akan menjadi tukang di negeri sendiri. Dan bosnya dari luar negeri semua. Nauzubillahmindzalik..

Salah siapa?
Kembali lagi ke pemerintah. Loh kok pemerintah? Karena pemerintah asal memberikan izin kepada lembaga-lembaga Bimbingan Belajar. Loh kok Lembaga Bimbel?

Pernah ikut Bimbel? Kalian merasa gak kalau di bimbel itu kita hanya diajarkan cara menyelesaikan soal-soal UN dan SNMPTN?
Kita selalu diberikan penyelesaian masalah soal-soal ujian. Kalau saja soal-soal itu "digeser" sedikit saja permasalahanya atau "dibalik", gue sendiri gak yakin anak-anak bimbel bisa menyelesaikan.

Padahal kita sudah diajarkan konsepnya, kalau sudah mengerti tentang konsepnya, pasti bisa menjawab berbagai soal.
Dan yang lebih penting lagi, kita harus mau "pusing" untuk menemukan jawaban.

Kenyataannya, di bimbel kita lebih sering meminta dan diberi jawaban dari soal-soal. Iya gak sih?
Kan lebih praktis? Nah, praktis itulah pragmatis. Jiwa tukang.

Gak semua bimbel seperti itu mudah-mudahan. Dan gue juga gak menyalahkan bimbel. Tapi setahu gue, bimbel ya seperti itu.

Sekarang kembali ke diri kita masing-masing. Apakah ingin pragmatis yang serba mudah dan praktis.
Pragmatis hanya akan membuat kita semakin dijajah di negeri sendiri.

KALO GUE SIH OGAH!! ^^

Have a nice day!