00:00
Senin
00 Mei
jQuery(function($){
$("#ticker").tweet({
username: "buffhans",
page: 1,
avatar_size: 32,
count: 5,
loading_text: "lagi ngebaca twit..."
}).bind("loaded", function() {
var ul = $(this).find(".tweet_list");
var ticker = function() {
setTimeout(function() {
var top = ul.position().top;
var h = ul.height();
var incr = (h / ul.children().length);
var newTop = top - incr;
if (h + newTop <= 0) newTop = 0;
ul.animate( {top: newTop}, 500 );
ticker();
}, 5000);
};
ticker();
});
});
˟

SURAT RINDU #19 : Kamu Koruptor!


Heh! Kamu selalu membuatku menggeleng-gelengkan kepala perkara surat-suratmu! Tingkahmu selalu membuatku habis pikir, bingung, dan heran. Sudah berapa banyak suratmu yang terkirim untukku?

Maka seperti perkataanmu, kamu berhutang pelukan sebanyak surat yang telah terkirim! Ditambah lagi bunga atas hutangmu, belum lagi kerinduanku yang semakin menumpuk, sepertinya kamu berhutang sangat banyak pelukan untukku!

Aku tidak sedang berbaik hati kali ini. Dan aku tidak sedang juga memaafkan semua kesalahanmu atas rindu yang entah sudah berapa banyak tertumpuk.

Kamu Koruptor!

SURAT RINDU #17 : Kepada..


Kepada subuh, aku titipkan salam lewat adzan yang menggema berkumandang membangunkanmu dari lelapnya tidur. “Semoga pagi ini kamu bangun dalam sehat dan senyum sepanjang waktu”.

Kepada sore, aku titipkan rona jingga pada beningnya senja. Diantaranya kuselipkan ragu yang bersolek manja. “Semoga diantara sendu, kamu masih berdiri tegak dan tegar”.

Kepada hujan, aku curahkan rindu lewat syair merdu. Rintik basahnya menghujam bagai panah para serdadu. “Semoga rindu memberikan kita waktu bersama pada ruang temu”.

Kepada angin, aku lepaskan cemburu diantara sekat-sekat ragu. Semilirnya membawa pesan ingin bertemu. “Semoga waktu sudi menghapus jejak luka dari masa lalu”.

Kepada malam, kupanjatkan doa-doa pada yang maha kuasa. Tentang getirnya harapan bersama dimasa depan. “Semoga takdir membawa kabar gembira kepastian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan muskil atas kita”.

Kepadamu, aku ingin mengikat janji suci.. Pada ikatan Ilahi..

Jangan Sepelekan Buang Hajat

Ini adalah sebuah kisah nyata yang saya alami waktu kelas 2 SD. Ketika saya masih unyu-unyu nge-gemesin, masih lugu, dan bisa dibilang bodoh.

Jam kepulangan sekolah anak kelas 2 SD adalah jam 11.00. Waktu itu jarak rumah ke sekolah hanya berkisar +/- 2 KM. Dan setiap pulang sekolah, saya selalu berjalan kaki. Padahal kalau naik angkot cuma membayar Rp. 300,-. Dan saya juga bukan anak manja yang harus dijemput sepulang sekolah. Kebetulan juga, ketika kelas 2 SD saya hidup jauh dari orang tua. Saya hidup menumpang dirumah Budhe dan Pakdhe yang berada dikota, sementara orang tua berada dipedalaman yang berjarak sekitar +/- 250 KM.

Sepulang sekolah, saya merasakan ada tekanan didekat daerah (maaf) dubur, bahasa kerennya, "kebelet boker". Berhubung toilet sekolah bau pesing luar biasa, dan gak ada air, maka lucu sekali kalau saya Buang Air Besar (BAB) tanpa cebok.

Selain akan menyisakan bau yang terbawa kemana-mana, saya juga merasakan jijik sendiri.

Akhirnya saya memutuskan untuk menahan hingga sampai dirumah. Kebetulan lainnya, dikantong saya masih ada uang Rp. 300,- perak, kalau diestimasi waktu naik angkot sampai kerumah, tidak akan jebol.

Saya berjalan hingga dipinggir jalan menunggu angkot lewat, dan dari kejauhan sudah terlihat angkot tapi entah kenapa berhenti lama diujung jalan.

Mungkin waktu itu hari sial saya, ada preman kecil yang kalau saya taksir sudah SMP, kerjanya malakin anak SD pulang sekolah. Sebelum-sebelumnya saya sering diminta uang, daripada saya bonyok, mending saya kasih saja. Itulah kenapa saya sering pulang tanpa membawa uang.

Kali ini, sial. Saya kena palak.

Hal ini membuat keadaan semakin rumit. Pantat saya sudah kebelet, uang dirampok, artinya saya harus jalan kaki pulang sambil menahan BAB.

Dengan tekad juang dan keyakinan untuk bisa boker dirumah, akhirnya saya jalan kaki pulang kerumah yang rasanya semakin jauh saja ketika sambil kebelet.

Hebatnya, sampai 90% perjalanan sukses saya lewati dengan menahan boker. Masa kritis muncul ketika proses jalan mencapai 91%, "gerbang anus" saya sudah kritis tak kuasa menahan. Padahal berbagai cara sudah saya lakukan mulai dari mengantongi batu, hingga menghimpit pantat dengan bantuan tangan. Mau mencari semak pojokan pohon, tapi yang ada semak rumput pendek yang layu disemprot herbisida (racun rumput).

Pilihannya ada dua ; Pertama, saya BAB direrumputan, walau memang kebetulan daerah itu sangat sepi orang lewat, dan rumah ada sekitar 20 meter, tapi kemungkinan malu dilihat orang sangat besar. Kedua, anda bisa menebak sendiri pilihan ini.

Mau-tidak-mau, saya mengambil pilihan kedua. Setidaknya hanya saya yang merasakan tidak nyaman, dan hanya saya yang merasa malu terhadap diri sendiri. Dan untuk menutupi kemungkinan dilihat orang dari belakang karena tembus, saya menutupi dengan tas. Walau saya harus berjalan mengangkang kali ini.

Sial, padahal jarak kerumah tinggal +/- 100 meter lagi.

Dibalik malunya saya, ternyata ada banyak kebaikan-kebaikan yang bisa diambil.
Pertama, selama 100 meter terakhir, tidak ada orang yang membuntuti saya dari belakang.
Kedua, suasana lagi sepi sekali, mungkin orang lagi sibuk kerja.
Disini, intinya perjalanan saya mulus tanpa harus menahan malu dilihat orang lain, kecuali Budhe saat sampai dirumah.

Dan yang terakhir adalah lega melepas hajat meski dalam kondisi tidak menyenangkan.

Menahan hajat (BAB) adalah hal yang harus segara dipenuhi, bahkan saat ibadah (sholat) pun, saat kebelet sebaiknya saya sarankan untuk membatalkan. Karena jika tidak, Sholat anda tidak akan khusyuk, dan bahkan kemungkinan batal sangatlah besar. Saya taksir, 95% sangat mungkin untuk batal.

Apalagi harus menahan hajat dengan berjalan sejauh 1,9 KM. Bayangkan saja bagaimana tersiksanya saya waktu itu. Anda mau mencoba?

Silahkan tertawa membaca tulisan saya ini, atau bahkan merasa jijik. Toh, saya yang menulis juga merasakan hal yang sama saat menulis.

Jangan sepelekan hal-hal sepele, apalagi untuk urusan buang hajat. Jika anda tidak ingin merasakan hal buruk seperti saya.

Kebaikan yang paling saya syukuri adalah,
Saya masih anak-anak. Hal seperti buang hajat dicelana masih diterima dalam batas kewajaran.

Have a nice day!
hehehee.. ^___^

SURAT RINDU #15 : I miss you


Apa kabar?
Rasanya aku tak mendengar kabarmu seharian karena kesibukan itu seperti setahun merindukan tanpa balasan. Aku baru saja pulang dari sebuah kegiatan outbond, dan lagi-lagi aku menjadi panitia. Sangat melelahkan, apalagi seharian diguyur hujan, tetapi aku harus tetap berbaur dibawah derasnya hujan bersama peserta lainnya.

Sepertinya aku tak perlu menceritakan apa yang terjadi selama kegiatan berlangsung. Tetapi sepertinya kamu harus tahu kalau aku selalu merindukanmu ketika berteduh, istirahat sejenak dari keletihan yang melanda.

Hujan memang selalu membawa kerinduan, apalagi selalu tentangmu. Setidaknya selain basah, aku menikmati sesuatu dibaliknya, rindu, kamu.

Sesaat sebelum hujan disore hari turun, kabut turun terlebih dahulu perlahan ditiap lembah dan bukit tempatku berada. Kabut ini yang kunamakan kejenuhan, pada setiap butiran rindu yang menumpuk, membentuk suspensi sempurna dengan udara dingin. Kamu tahu akibatnya? Hatiku sesak oleh rindu terhadap orang yang sama, selalu sama, kamu.

Aku sudah berjanji sebelumnya untuk tidak terlambat mengirimkan surat untukmu sebelum mentari pagi menyingsing. Meski letihku sudah tidak tertahan, tapi hanya membayangkan sosokmu aku seakan mendapat anestesi buatan.

Didalam mobil, saat aku pulang tadi, dingin udara mengembunkan titik air didalam kaca mobil. Aku hanya melamun diantara kelelahan, menunggu kabarmu penuh harapan. Aku mengabadikan sesuatu yang cukup menggambarkan suasana hati sepanjang hari..

Hey Andromeda.. I miss you..

Permasalahan dan Kepuasan

Kemarin malam, saya diajak oleh beberapa teman untuk keliling kota sejenak untuk menghilangkan penat, sekalian untuk mencari makan malam. Padahal, kondisi saya saat itu sedang luar biasa letih setelah seharian penuh tanpa istirahat membuat parcel untuk donatur acara pesta rakyat.

Ditambah lagi semalam sebelumnya belum tidur sama sekali, dipagi harinya jam 10 ada ujian dikampus. Rasanya keletihan itu numpuk. Sepulang membuat parcel, saya harus mengambil spanduk untuk acara esok hari jam 7 pagi. Baru saja jam 9 malam pulang ke kontrakan, teman saya datang menjemput.

Yah, mungkin sejenak bisa keluar jalan-jalan malam minggu, cari angin segar, dan makan dipinggiran jalan. Sekali-kali, walau saya tahu kalau harga makan pinggir jalan, minimal dua kali lipat dari harga diwarung langganan yang hanya 7-ribu satu porsi.

Sekali-kali makan enak dan "agak mahal" tak apa pikirku.

Sampai diwarung pinggir jalan, Warung Seafood, saya memesan Ikan Kakap goreng kering. Sebagai pecinta ikan kakap, saya senang karena warung seafood itu menyediakan menu tersebut. Dan untuk porsi satu orang, sudah sangat memuaskan, besar. Soal rasa, inilah pertama kali saya makan ikan begitu gurih dan enak, luar biasa memuaskan.

Permasalah muncul diakhir, harga. Taksiran saya, harganya melampaui perkiraan. Dan benar, ternyata harga yang harus saya tebus hampir 50-ribu, sudah termasuk minum. Untuk hidup seminggu, hanya ada 2 lembar uang biru, dan malam itu saya harus merelakan satu lembar melayang hanya untuk kepuasan makan.

Permasalahan berikutnya muncul, besok pagi saya harus bangun cepat, dan jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ditambah sebelumnya saya belum tidur melebihi 30 jam. Kemungkinan bangun telat sangat besar.

Dari sekian banyak beban permasalahan yang saya alami, mulai dari kurang tidur, lelah menumpuk, dan esok harinya harus bangun cepat, ada satu kebaikan yang langsung terasa, nikmatnya makan ikan kakap.

SURAT RINDU #13 : Cemburu


Selamat malam, kamu yang mulai mencintai fisika.
Aku sempat tertawa kecil ketika membaca suratmu, kamu yang membenci fisika, tiba-tiba berbicara seakan-akan kamulah pemenang olimpiade fisika tingkat nasional, aku kalah olehmu. Dulu aku pernah juara pertama olimpiade fisika loh? Hanya saja, ketika pemilihan wakil provinsi, aku gagal karena perbedaan 0,5 poin saja. Kalau saja aku lolos tingkat nasional, mungkin bisa ketemu kamu yah?
Hihihi..

Hey, kamu mungkin lupa dengan adanya hukum aksi-reaksi. Sekarang usahaku sedang positif terhadapmu, jadi mau-tidak-mau usahamu juga harus bernilai positif. Kalau tidak bisa positif, terpaksa aku harus memberimu tanda mutlak! :p

Dalam perputaran kosmik, segala isi semesta mengitari satu titik. Titik inilah yang kepastian, meski ia bisa terletak dalam kenisbian. Aku, kamu, kita, sama-sama saling mengejar satu titik kepastian. Pengejaran inilah proses untuk mencapai kebahagiaan. Dan tragisnya, kita sama-sama tahu bahwa yang kita kejar adalah sebuah tujuan yang semu, ketentuan yang belum tentu bersatu.

Aku mulai bertanya-tanya, kenapa kita tidak bisa mengintip takdir? Kenapa ia selalu menjadi misteri? Kenapa ia adalah hal yang begitu dinanti? Pada akhirnya, aku disadarkan kembali oleh pepatah lama, satu-satunya yang pasti dalam dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri.

Aku takut akan harapan yang dihadapkan pada konsep ketidakpastian. Konsep yang sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Semua harapanku melebihi ambang batas kewajaran. Ketika harapan itu kalah oleh kenyataan, hanya akan melahirkan kekecewaan. Kamu tahu kan bagaimana pahitnya kekecewaan?

Kamu tahu, ketakutanku semakin nyata ketika sore tadi kamu berniat untuk berhenti berbalas surat. Berhenti karena ada sosok orang lain yang cemburu. Bagiku, ia hanya orang yang berusaha merebut perhatianmu dariku. Dan aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi.

Maaf aku egois untuk mengatakan ini. Tapi kamu pernah bilang, “Cinta adalah tentang mempertahankan” bukan? Aku hanya sedang mempertahankan usaha yang sudah kulakukan. Dan aku tak akan pernah membiarkan semua berakhir dalam kesia-siaan.

Aku serius, dan seharusnya kamu lebih peka terhadap lelaki yang mengalamatkan rindunya padamu, sedang tersulut api cemburu.

Di 1/3 malam-Nya kali ini aku berdoa lebih khusyuk dari biasanya. Doa dan harapanku hanya satu..
“Disisa akhir 0,1 Detik Kosmik hidupku kelak, akulah orang yang akan selalu berada disisimu.”

Maaf, aku terlalu banyak ngoceh lewat surat ini. Terlalu absurd untuk diartikan. Setidaknya kamu akan tahu nanti, ketika kamu mulai memancing cemburu, suratku akan selalu absurd.

Dari yang sedang cemburu, Perseus.

SURAT RINDU #11 : Roti Tawar


Hari ini, aku mencoba untuk membuat roti tawar. Tidak terlalu sulit ternyata, hanya adonan tepung terigu, ragi, susu, gula, garam, air, dan mentega putih. Adonan selanjutnya diolah hingga kalis, dibiarkan mengembang, terakhir di oven. Tidak begitu sulit. Tapi mungkin sulit kalau hanya kujelaskan lewat surat. Kapan-kapan, aku ajarkan kamu buat kue deh.
Hehehe.. Itu pun kalau kamu mau.

Aku salah satu laki-laki yang suka dengan urusan dapur. Entah itu hanya sekedar masak, goreng-menggoreng, sampai membuat kue. Agak aneh ya kalau seorang cowok berurusan dengan dapur? Tak apa, setidaknya, istriku kelak tidak akan kerepotan dengan urusan dapur.

Oh iya, aku tidak sedang memberitahu tentang cara membuat roti dan tentang kebiasaanku berada di dapur. Tapi ini tetang roti tawar.

Dari sekian banyak jenis roti, aku lebih suka dengan roti tawar. Entahlah, bagiku, roti tawar menggabarkan ketulusan. Bagi orang kebanyakan, roti tawar sama sekali tak memiliki rasa, seperti namanya, “tawar”. Bagiku, ia terasa manis walau sedikit. Tapi disitulah awal kecintaanku pada roti tawar. Manisnya tulus, tanpa dibuat-buat.

Setidaknya, disinilah perbedaan caraku mencintai sesuatu, tidak seperti cara orang lain mencintai secara holistik.

Sama halnya kamu, seperti roti tawar. Tidak begitu cantik, tidak begitu manis. Tapi aku suka. Aku hanya melihat dari cara yang berbeda, cara yang tak pernah sama oleh orang lain. Atau mungkin karena kamu menawarkan sesuatu yang bernama ketulusan. Entahlah, aku tak begitu tahu pasti.

Ahahaha..
Aku bercanda. Tidak usah diambil serius.
Mana mungkin kamu tidak cantik, mana mungkin kamu tidak manis. Semua yang ada padamu hampir sempurna, terlalu banyak orang yang mengagumimu, dan aku hanyalah orang keberapa puluh yang mengagumi.

Tapi aku menegaskan, kekagumanku tidak seperti pandangan orang secara holistik. Jika orang mencintai roti karena manisnya, aku mencintai bagian tawarnya. Karena semanis apapun roti, pada dasarnya adalah roti tawar.

Aku tidak sedang merindukanmu, tapi inilah awal aku menyukaimu

Kehilangan Makna #Mendengar


Kenapa sih orang-orang kebanyakan berlomba-lomba menambah jumlah followers ketimbang following? Kata followers dan following pasti sangat akrab bagi mereka yang aktif didunia sosial media, khususnya twitter.

Kita sedang dihadapi oleh persoalan kehilangan makna mendengar. Padahal, dua telinga yang diberi oleh-Nya bertujuan agar kita lebih banyak mendengar.

Mendengar seakan menjadi kehilangan makna. Ketika orang-orang lebih banyak berlomba-lomba menambah followers ketimbang following.

Mendengar semakin kehilangan makna. Ketika perbedaan jumlah followers dan following menjadi persoalan.

Mendengar kehilangan makna. Ketika banyaknya jumlah followers menjadi kebanggaan dan tolak ukur kesuksesan.

Dan mendengar menjadi tanpa makna. Ketika jumlah followers dapat diperjual-belikan.

Setidaknya, ini berarti orang-orang lebih banyak diikuti ketimbang mengikuti.
Setidaknya, ini juga semakin menguatkan, bahwa orang-orang lebih suka dicintai ketimbang mencintai.

Selain kehilangan makna mendengar, kita juga kehilangan makna sebenarnya dari cinta. Karena cinta adalah tentang mencintai dan dicintai. Semua selalu berkaitan dengan sebab-akibat. Ini kondisi idealis, namun dalam realistis maya, semua bisa berlaku kebalikan.

Jangan terlalu serius, ini hanya parodi.

SURAT RINDU #9 : Nadir Harapan


Kepada Andromeda yang sedang berdiri pada titik tengah horizon, menatap titik nol derajat azimuth arah selatan, sembari menikmati aurora australis pada waktu yang kau sebut kebetulan. Sosok yang bimbang pada titik nadir harapan.

Aku baru saja selesai membaca suratmu, bahasamu menambah kadar kerinduan dalam dekapan bayang temu. Perihal suratmu yang tersirat penuh keraguan, dan doamu yang terpanjat dengan penuh harapan.

Aku mengerti harapanmu tentang kepastian. Dan keberanianku harus tunduk dihadapan sesuatu yang dinamakan takdir. Takdirlah keputusan absolut dari Sang Maha Kuasa. Aku tak mampu menjanjikan kita untuk bersatu. Tapi aku masih mampu menjanjikan temu.

Tidak ada yang namanya kebetulan, Andromeda. Semua sudah dirancang manis dalam catatan Sang Ilahi. Rencana-Nya itu pasti, tapi rencana kita nisbi. Pada akhirnya kita harus memegang kembali azas kemungkinan. Namun jangan pernah membuang harapan.

Bagaimana kalau kita bekerja sama?
Aku akan menahan semua keraguan pada titik nadir, dan kamu memanjat doa dan harapan pada titik zenith.

Aku menempatkan temu pada batas kesetiaan. Dan menyerahkan ketentuan pada dimensi imajiner Tuhan.

Ulurkan jari manismu, izinkan aku menyematkan cincin pembuktian. Setelah itu kamu akan sepenuhnya memiliki dan menempati seluruh ruang dalam hatiku. Apa itu cukup untuk menepis seluruh keraguan?

SURAT RINDU #7 : Kepada Andromeda


Hai kamu, Andromeda..
Malam ini, aku memutuskan untuk mencarimu, lewat Teleskop Refraktor kecilku. Tak begitu besar, juga tak begitu panjang. Teleskopku tidak mampu melihat bentuk rupamu, tapi setidaknya, setitik putih cahayamu terasa mampu melepas dahaga rindu.

Aku rindu menatapmu lebih dekat, menikmati lekuk parasmu dalam dinginnya malam lembang. Teleskop Refraktor Bamberg Bosscha sangat kuat menangkap rona wajahmu, dan aku hanya bisa tersenyum malu.

Bimasakti, tempatku berada, masih terlalu jauh untuk menggapaimu. Untuk sementara waktu, izinkan aku untuk hanya merindukanmu. Aku akan menemukanmu, namun jarakmu hanya akan memakan usiaku dalam perjalanan waktu. Aku butuh kendaraan yang lebih cepat dari cahaya. Jika kamu mau bersabar sebentar waktu saja, kita pasti akan bertemu.

Setidaknya, kita sama-sama punya kendaraan yang bernama “Rindu”. Rindu adalah kendaraan tercepat dalam semesta, meski ia adalah semu. Bayang kita sudah saling bertemu lewat indahnya nebula rindu. Tapi jasadku, selalu memberontak ingin bertemu.

Hei Andromeda, apa kabar?
Masihkah kamu terbelenggu oleh rantai masa lalu?
Aku selalu bertanya, siapa yang begitu tega mengikatmu, dan mengorbankan hatimu ditengah hempasan ombak dan karang. Apa sudah tidak ada lagi yang mencintaimu? Ah, itu pertanyaan konyol. Wanita secantik dirimu tak mungkin dibenci.

Dan sampai kapanpun, galaksi kita tidak akan pernah bertemu. Kecuali nanti, saat hari akhir menjemput. Dan aku tak akan mau menunggu hingga hari akhir. Karena belum tentu, kita akan bertemu disurga kan?

Hai Andromeda..
Hari-hariku dipenuhi dengan petualangan, perjalanan menikmati es krim di Pluto lalu menikmati senja di Merkurius. Tapi ditengah perjalanan aku menemukan sesuatu yang indah untukmu.

Kamu mungkin bertanya-tanya tentang diriku, sosok yang ingin bertemu. Tapi sebelumnya, kamu harus bersiap diri untuk ku jemput. Dan aku akan membawamu ke Bumi, tempatku tinggal. Sepakat?

Oh iya, aku menemukan sesuatu dari Saturnus. Coba tebak, sesuatu apa yang akan kau terima dariku nanti? Sebagai bocoran, ia adalah benda yang sangat cocok untuk jari manismu.

Perjalananku masih sangat panjang. Kuharap kamu terus bersabar. Dan doakan saja aku selamat dalam perjalanan waktu.

Dari yang ingin bertemu, Perseus.

SURAT RINDU #5 : Hujan dan Semak


Aku dengar, dikotamu belakangan ini sering hujan ya?
Kota tempatku sebaliknya, jarang hujan. Hujan minggu ini jatuh dihari selasa, dan sepertinya sampai pekan ini selesai, hujan masih enggan turun. Berkali-kali mendung, tapi sepertinya awan masih ragu untuk menangis dan memilih membasahi tempatmu, mungkin. Dan sepertinya memang begitu.

Hujan terkadang membawa memori tentang kenangan, sering kali membawa kerinduan, suatu saat akan membawa tangis kepedihan, dan tak jarang ia menjengkelkan. Tak ada yang membenci hujan, kecuali basahnya.

Bagiku, datangnya hujan selalu membawa kerinduan, seakan-akan semua serbuan rinai-nya adalah serdadu rindu yang kamu kirimkan. Logisnya, satu tidak akan pernah menang melawan ribuan, bahkan jutaan. Kecuali dengan keajaiban. Seperti rinai hujan dan gerimis kerinduan. Mereka sekongkol, menyerang aku yang sendirian.

Aku takluk, oleh serbuan hujan yang membawa kerinduan. Dan tentu saja, jenderal perang pasukan rindu itu hanya satu, dan lagi-lagi itu selalu kamu.

Terlalu banyak ceritaku tentang hujan, tentang sosokmu yang penuh kerinduan, dan tentang lengkung pelangi manis diufuk peraduan.

Aku terlalu banyak bicara tentang hujan dan basahnya, kamu pasti merindukan senja yang selalu tertutup mendung. Bagiku hujan lebih sering menyebalkan, sementara ia tiada ampun membawa pesan rindumu, aku bertahan pada sesaknya kebanjiran. Dan kamu malah seenaknya saja membiarkan hati dirudung rindu yang kelewatan. Dilain sisi, mungkin kamu juga sama halnya seperti aku. Bertahan menggerutu menahan sesuatu yang kita sebut rindu.

Bodohnya aku, kamu, kita, adalah masih saja malu, untuk sekedar berbagi rindu. Lewat pesan-pesan singkat yang mampu mengurai pekat. Pada akhirnya, masing-masing dari kita, berat memikul rindu dalam tandu. Bayangmu terlalu lekat, dan hujan pembawa sosokmu menyadarkan ruang antara kita terbentang diantara banyak sekat.

Kamu bisa berbagi basah hujan, kotaku rindu akan bau basah tanah yang menyeruak. Bukan kotaku, tapi aku, tanaman rindumu sudah lebat tak terawat bagai semak..

Aku merindukanmu, Ra..

SURAT RINDU #3 : Takkan Sempurna Tanpamu


Ini seperti mimpi, surat rindu pertamaku berbalas manis.
Surat sebelumnya, surat yang saat ini kamu baca, dan beberapa surat kedepannya, adalah pesanku. Pesan rindu yang mengendap dalam kotak draftku. Kamu mungkin salah, pesanku tidak bertempat dikotak terkirim, tapi disini. Didalam surat-surat rindu yang tertuju jelas pada alamatmu.

Aku membisu tanpa tahu bagaimana seharusnya membalas surat rindu darimu. Kata-kataku seharusnya kokoh menopang hati yang luluh oleh tumpukan waktu, ia luntur oleh teduh tutur katamu yang mengurai semu.

Tentang senja yang kukirim untukmu, boleh aku berbagi? Mungkin banyak yang penasaran tentang senjamu.. bukan, senja kita.


Kamu bilang, senja yang kukirim itu sempurna. Bagiku tidak, tanpamu senja manapun tak akan terasa sempurna.

Aku baru selesai membaca suratmu malam ini..

Tentang malam dibawah balutan sinar rembulan, bayangmu selalu membawaku terbuai dalam kerinduan. Aku pernah bilang padamu sebelumnya, perihal rindu. Ketika hatimu sedang dirudung sendu. Masih ingat?

Merindui bukan berarti mencintai. Meski keduanya masih tentang perasaan hati. Berkali-kali aku merindukanmu namun belum terbesit dalam pikiran untuk mencintai.

Namun hal yang kutakutkan benar-benar terjadi. Merindukanmu itu candu. Ia seperti benih yang tumbuh, kemudian perlahan menjalar dalam denyutan nadi. Bunganya selalu membisikkan satu nama, kamu.

Ketakutanku bukan berasal dari rindu, bagiku, kamu memang pantas untuk dirindu. Kamu berhasil menyuburkan benih rindu dalam hatiku. Selayaknya sebuah tanaman, ia sudah berdaun rimbun. Kamu tahu, yang paling indah dari sebuah tanaman adalah bunga. Dan yang paling terasa manis adalah buahnya.

Aku takut ketika hatiku terlalu manis karena buah-buah itu, hingga aku tak sanggup lagi mengatakannya sebagai rindu.

Aku tak bisa menjanjikan senja yang sempurna. Terkadang senja kelabu oleh hujan sendu, terkadang senja ungu bagai dihatam waktu. Namun denganmu, kita akan menemukan jingga yang tiada dua. Senja yang sempurna tanpa pernah menua.

Ini sungguh kaku, surat rinduku selalu tertulis seakan-akan kamu adalah milikku. Seakan-akan aku begitu tahu semua tentang sifatmu, tentang parasmu, tentang tatapanmu, tentang tutur katamu, tentang kelebihan dan kekuranganmu, dan semua tentangmu.

Mungkin aku terlalu lancang untuk mengatakan kamu seperti milikku. Memilikimu, hanya bisa kulakukan dalam dunia imajinerku, dalam mimpi, dalam angan, dan dalam lamunan. Tentu saja, yang kumiliki bukan kamu, hanya refleksi tentangmu.

Pada akhirnya semua harus tunduk pada realita dan logika bahwa untuk merindukanmu, aku belum tentu berhak. Apalagi memilikimu.

SURAT RINDU #1 : Merindukanmu


Ini bukan pertama kalinya aku menulis surat. Tetapi, inilah surat pertama yang aku tulis untuk orang yang belum pernah ku temui sebelumnya..

Teruntuk kamu, perempuan perindu senja. Surat rindu ini sengaja kukirim untukmu, tanpa harapan balasan darimu, bahkan alasan untuk bertemu. Bentangan pemisah begitu lebar antara ruang dan waktu. Surat ini tentang rindu, yang tertumpuk oleh dentingan waktu, hingga menjulang bagai merbabu.

Pernah kita saling menatap senja diwaktu yang sama namun berbeda ruang. Lalu masing-masing dari kita terseyum sendiri dengan apa yang sedang dibayangkan. Aku tersenyum membayangkan sosok indah bayangmu dalam angan, mungkin juga kamu sebaliknya. Aku tak tahu persis apakah kamu saat itu sedang memikirkan hal yang sama.

Kita sama-sama merindu tanpa mengenal waktu, terkadang hingga larut malam aku selalu membayangkanmu hingga lupa untuk tidur. Draft pesan yang sering tak terkirim itu menjadi sebuah bukti rindu. Namun selalu saja ego memenangkan pertarungan hati dan pikiran untuk menyampaikan rindu berakhir menjadi pesan yang terendapkan. Pada akhirnya, tak satupun dari kita berani memulai sapa.

Merindumu adalah hal yang biasa kulakukan setiap waktu, bahkan dalam doa panjang yang selalu berakhir dengan harapan bersatu. Lalu sesekali aku bertanya padamu tentang doa yang sering kau panjatkan setiap waktu dengan harapan akan ada terselip sebuah nama didalamnya. Tentu saja yang kuharapkan adalah namaku.

Terkadang saling merindu tidak menyenangkan ketika setitik cemburu hinggap. Lalu salah satu dari kita mencoba memberanikan diri bertanya untuk sebuah kepastian. Kepastian agar cemburu salah terhadap prasangka dalam pergelutan antara pikiran dan hati.

Merindukanmu itu mudah, mengatakannya rumit. Entah bibir yang terlalu kelu, atau hati yang terlanjur malu. Hanya pesan singkat “Kamu sedang apa?” menjadi pengganti dari setiap kerinduan yang melanda, lalu jawaban adalah obat dari kerinduan yang telah menganga.

Apa kabar, kamu? Perempuan senja.

Kepemimpinan, Kesenjangan, dan Harapan


Jiwa pemimpin tidak akan berkaca pada cermin kaca, tetapi ada sebuah cermin raksasa yang bisa kita sebut masyarakat. Dan letak cermin itu adalah RESPON. Untuk lebih sempit lagi, berkacalah pada respon anggota dalam organisasi yang akan dipimpin. Dan dengarlah bisikan-bisikan kecil didalamnya.

Dilingkungan kampus saya, senioritas masih dijunjung tinggi. Sebut saja ini tentang kesenjangan.

Seorang calon pemimpin tidak akan bertindak idealis tanpa melihat realita. Apa yang terjadi dilingkungan kita bisa dikatakan salah, namun bukan berarti membenarkan yang salah itu dengan cara semerta-merta mengedepankan pola pikir pragmatis untuk menegakkan harapan.

Maka ingatlah bahwa harapan tak selalu lurus dengan kenyataan. Seorang pemimpin tidak akan berjalan dalam harapan dan idealita. Ia akan selalu berjalan melewati realita dan menegak kesenjangan yang ada. Namun tetap dipegang, harapan itu akan tegak perlahan.

Disinilah saya menekankan tentang nilai humanisasi, memanusiakan manusia. Tidak semua orang akan suka dengan tindakan kita yang serta-merta menjadi “shocking public”. Cara seperti ini hanya akan menambah sinisme dalam kesenjangan. Dan sampai kapanpun, kesenjangan itu tak akan pernah luntur.

Letak jiwa pemimpin disini adalah memberi pengertian secara perlahan dan selalu meminta masukan. Dan selalu memposisikan diri dalam konteks “Junior-Senior”. Kesenjangan ini penting untuk membangun hubungan baik dengan semua kalangan. Dan pemimpin sejati adalah ketika ia menegak kesenjangan, jejak setelah kesenjangan itulah ia hapus perlahan.

Banyak dari kita tidak suka dengan senioritas. Termasuk saya. Namun membenci senioritas bukanlah dengan cara menantangnya. Ketika seseorang menantang, akan ada kekuatan yang besar untuk melawan.

Dan untuk mendapat simpati orang banyak, bukanlah dengan cara menantang. Berbaurlah dan cari celah untuk menang. Saat ia menang, diposisi puncak itulah ia bisa menghapus kesenjangan secara totalitas. Mulai dari posisi yang sejajar kebawah. Maka putuslah rezim senioritas dimulai dari kelas dimana ia berada. Inilah yang disebut sebagai pemimpin sistematis.

Terkadang memang dibutuhkan sosok pemimpin yang pragmatis. Namun pemimpin yang komprehensif akan selalu membuat alur estafet kepemimpinan sistematis.

Maka, jadilah pemimpin yang selalu dirindukan..

Dukungan dan Pilihan


Dikampus saya, saat ini sedang ada pemilihan calon ketua dan calon wakil ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) yang baru. Berhubung yang akan dipilih adalah dari himpunan jurusan saya, dan kesempatan itu sudah saatnya dari angkatan (stambuk) saya yang naik, otomatis yang akan naik adalah teman-teman saya sendiri.

Kebetulan yang lainnya adalah, ada dua calon, dan keduanya adalah teman dekat saya. Dari sinilah timbul sebuah dilema, dimana dari kedua pihak saling mencari dukungan, setiap suara, dan setiap partisipasi. Saya mendukung keduanya, tetapi pada akhirnya dukungan itu menjadi pilihan ketika keduanya meminta untuk memihak.

Pilihan itu akan selalu menjadi dilema, selama belum ada kejelasan untuk memihak. Walau pada akhirnya saya harus memilih salah satu diantara keduanya, namun setidaknya pilihan akhir bukanlah sebuah pilihan lagi, namun keputusan. Dan keputusan memilih bukan lagi tentang memihak.

Dukungan dan pilihan tidak selalu berjalan searah. Karena memang tidak ada jaminan ketika seseorang menyuarakan dukungan kepada salah satu pihak, maka pilihannya akan jatuh pada dukungan itu sendiri. Ini bukan masalah musuh dalam selimut, tetapi pilihan adalah hak prerogatif seseorang yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun.

Sekali lagi jangan salah, dukungan bukan berarti pilihan. Ada banyak faktor ketika seseorang mendukung pihak tertentu. Namun pilihan adalah faktor pribadi. Tetapi anggapan itu hampir selalu berbuah anggapan dusta dan khianat ketika dukungan dan pilihan tak sejalan. Untuk mengatasi hal itu, saya selalu mengatakan kepada kedua pihak, “Saya akan bertindak netral”.
Jangan salah anggapan juga ketika saya membantu salah satu pihak, misalnya untuk membuat poster atau kata-kata kampanye. Namun jangan pula jadikan hal ini menjadi alasan untuk memaksa melakukan hal yang sama pada pihak lainnya.

Akan selalu ada persaingan dalam menggapai suatu ambisi. Pada awalnya, yang terasa adalah dukungan satu sama lain yang saling menyokong. Tetapi namanya juga persaingan, selalu ada suara-suara pihak lain yang membuat aroma kekeluargaan menjadi aroma ambisi. Bukan dari salah satu pihak saja, bisa jadi keduanya. Ketika keinginan untuk menang semakin kuat, maka disitulah letak ambisi masing-masing.

Ini bukan hal yang pertama kali. Beberapa pemilihan sebelumnya, saya selalu berada pada posisi yang sama. Dan pada akhirnya, saya lebih memilih untuk menjadi pihak netral. Tidak memberikan dukungan pada salah satu pihak, tetapi mendukung semua pihak.

Dan kecenderungan orang atas tindakan kita akan muncul stigma ketika kecenderungan itu tidak mengarah kepada pihaknya. Kecenderungan akan selalu nampak, tetapi pilihan tak dapat ditebak.

Saya bingung ketika ada beberapa orang mengajak memberi dukungan dengan alasan saya bisa membawa banyak simpatisan. Yang perlu ditekankan adalah, ketika saya memberikan dukungan, lalu banyak simpatisan ikut misalnya. Pertanyaannya adalah, Simpatisan itu memihak pada sang calon atau saya? Atau calon pemimpin tak mampu menunjukkan kharisma sehingga mengandalkan orang lain untuk mengagkat kharismanya? Entahlah.., itu bukan urusan saya juga.

Jika memang berniat menjadi pemimpin orang banyak, maka bangunlah pribadi yang bijaksana dan tingkatkan kharisma, sejak dini. Namun ketika hal itu dilakukan ketika datang kesempatan, jangan salahkan siapapun ketika ada sebagian orang mengatakan matang karbitan.

Matang karbitan hanya terlihat matang dari luar saja, ketika dikupas, ia sama halnya seperti buah mentah yang terasa sepat. Maka bersiaplah untuk diumpat.

Kembali pada kalimat kesukaan saya sejak dulu,
“Hidup bukan tentang tega gak tega. Hidup adalah keberanian untuk mengambil keputusan

Malam, Hujan, dan Hentakan Kaki Berlari

Ini masih malam yang biasa. Seperti malam sebelumnya, semakin larut ia dimakan waktu, semakin mencekam dan semakin menusuk dingin. Bedanya, kali ini semakin dingin oleh rintik hujan yang nanggung untuk disebut deras.

Ini adalah malam dengan serbuan rintik hujan.
Beberapa orang mencintai hujan dengan hanya memandang, sementara dirinya dibawah naungan teduh.
Beberapa orang menikmati hujan sambil menari bersama irama gemerciknya.
Dan tak ada satupun yang membenci hujan, kecuali takut akan basahnya.

Tetapi, hujan tak pernah bisa membasahi seseorang yang berlari ditengah malam. Hentakan kaki yang berlari itu mampu mengeringkan setapak jalan yang basah menjadi kering.

Ia seakan sedang berlari dari kenyataan, namun sesungguhnya ia sedang menikmati kegelisahan. Karena kegelisahan itulah ia berlari menembus malam. Matanya sayu, namun tajam merobek malam.

Ia orang yang sama.
Orang bodoh yang kembali berlari memikul beban, diatas setapak jalan keadaan.